Bunda
,
Malam
di bulan September ini hujan turun deras sekali. Titik-titik airnya yamelayang
pada bunda ng jatuh bagaikan ribuan jarum kecil yang menghujam punggung bumi. Dingin, tapi terasa indah. Sudah hampir jam
00.00 WIB, tapi aku belum bisa memejamkan mata karena aku rindu pada bunda.
Semua teman satu mess ku mungkin telah bergulung di bawah selimutagar hangat,
tapi guyuran hujan membuat mataku tetap terbuka dan separoh ingatanku melayang
pada bunda yang berada ratusan kilometer dariku. Bila hujan turun disertai
guntur seperti ini, aku selalu teringat pada suatu masa dimana aku masih
berusia tujuh tahun. Kala itu aku begitu takut sehingga aku harus senantiasa
tidur dalam pelukanmu yang aman. Dengan penuh kasih bunda mengelus kepalaku
sambil menghibur.
“Tidak
apa-apa sayang, itu hanya guntur yang diciptakan Allah untuk menemani hujan.
Nah, sekarang tidurlah kembali, dan jadilah anak yang berani “, kata bunda
sambil menyelimuti tubuhku.
Kata-kata
bunda itu membuatku tidak takut lagi, malah kemudian menjadi lecutan bagiku
untuk menjadi anak yang berani. Berani sehingga akhirnya bunda kewalahan dengan
sikapku. Ingatkah bunda ketika aku nekad naik ke tiang listrik hanya untuk
mengambil layang-layang putus yang talinya tersangkut di kabel listrik ? Pasti
bunda tidak lupa kebiasaanku naik keatas genting dengan tangan hanya untuk
memetik cerme yang sedang berbuah lebat ? Aku rasa bunda masih mengingat semua
itu dengan jelas, karena setiap kali aku mulai berani , bunda akan mengelus
dada dan menegurku dengan tegas . J
“Galuh,
tindakanmu itu namanya bukan berani, tetapi nakal. Ayo turun, jangan diulangi
lagi, kamu ini kan anak perempuan. Tidak pantas anak perempuan bertindak
seperti itu.”
Mendengar
teguran bunda, aku segera turun sambil meringis dan berlari. Namun ketika bunda
masuk kembali ke rumah, aku pun diam-diam mengulangi lagi.
Ketika
beranjak remaja, aku mulai merengek untuk diizinkan camping dan naik gunun,
tapi bunda hanya menggelengkan kepala tanda tidak setuju. Namun lagi-lagi,
secara diam-diam aku ikutcamping dan naik gunung tanpa persetujuan bunda. Yang
paling aku ingat, ketika aku pulang dari Gunung Salak, bunda tengah menungguku
di beranda dengan cemas karena hujan turun dengan derasnya, padahal aku belum
pulang juga. Betapa ngilu sekaligus bahagia hatiku melihat bunda yang masih
terjaga walaupun jarum telah menunjukkan pukul 02.00 WIB. Tak ada kemarahan
atau teguran dari bunda yang biasa kuterima, hanya kalimat lembut yang
memintaku untuk segera mandi dan berganti baju. Rasa capek dan dingin yang tadi
menderaku hilang setelah bunda menyiapkan segelas susu hangat dan semangkok mie
instant. Ah, bunda walaupun aku seringkali membuat hatimu kesal, tetapi engkau
tidak pernah lelah membuka hatimu untuk memaafkan aku. J
Bunda,
Hujan
masih turun, tetapi sekarang yang tersisa hanya gerimis halus yang suaranya
terdengar merdu menyentuh ujung genting mess. Titik-titik airnya yang menetes
pelan membuatku mengantuk dan mataku terasa berat, namun aku ingin sekali
menyelesaikan suratku ini. Mungkin segelas coklat hangat bisa membuatku tetap
terjaga sehingga aku bisa menumpahkan rasa kangenku pada bunda.
Aku
ingin andai suratku ini sampai ke tangan bunda, kemarahan bunda padaku telah
mulai reda dan bisa memberi maaf seperti jika aku nakal dulu. Aku tidak pernah
bermaksud untuk membangkang, apalagi berniat menyakiti hati bunda dengan
keputusan ini. Tetapi adalah suatu keinginan dan cita-cita yang telah aku pupuk
sejak aku dini, membuatku harus tegas mengatakan pada bunda bahwa aku punya
masa depan yang harus kubangun sendiri, apalahi ayah dan mbak Hanum juga
mendukungku.
“Bunda
tidak setuju ! Galuh”, kata bunda dengan nada tegas ketika itu.
Aku
tersentak kaget, seketika kucari mata ayah untuk minta dukungannnya.
“Biarkanlah
Galuh menentukan masa depan dan cita-citanya sendiri, bu. Kita sebagai orang
tua hanya biasa mendorong dan mendoakannya”, ujar ayah.
“Tetapi
dia itukan perempuan, yah. Lebih pantas jika ia memilih untuk menjadi pramugari
atau sekretaris”, sahut bunda lagi.
“Atau
kalau ingin kuliah, lebih baik kamu ambil jurusan ekonomi, hukum atau sastra.”
“Tetapi
apa salahnya menjadi Komando Wanita Angkatan Darat (Kowad), bunda”, sahutku
dengan emosi.
“
Sekarang jaman sudah maju dan bukan waktunya lagi mengkotak-kotakkan suatu
profesi, bu. Banyak perempuan yang telah berhasil menjadi pilot, insinyur atau
bekerja di bidang-bidang lain yang dulunya hanya dimonopoli oleh kaum laki-
laki “, ujar ayah membelaku. Mbak Hanum hanya mengangguk-anggukan kepala,
karena aku tahu ia tidak berani menentang Bunda.
“
Tapi tidak dengan Galuh, yah. Dia itu tomboy sejak masih kecil, karena itu
bunda ingin dia tidak lagi memilih pekerjaan yang makin mendekatkan dia dengan
kekerasan atau kenakalannya”, seru bunda dengan nada agak tinggi.
“
Terus terang aku terkejut mendengar alasan bunda, tadinya aku mnegira bunda
tidak mengijinkan aku masuk Kowad karena aku perempuan. Tapi ternyata bunda
cemas karena , melihat aku tumbuh menjadi pribadi yang keras seperti laki-laki.
Bunda tentu tidak ingin aku bertambah keras kepala setelah aku memutuskan masuk
Kowad.
“
Walaupun tidak menyetujui keputusanku ini, aku tetap ingin masuk Kowad”, seruku
seraya bangkit dari duduk dan berlalu masuk kamar.
Sejak
itu, aku selalu menjaga jarak dan sebisa mungkin menghindari percakapan dengan
bunda. Karena aku tahu, kalau aku mulai bermanja lagi dengan bunda, maka
cita-citaku, sebab bunda dengan tegas pasti akan memintaku untuk mengurungkan
niat. Aku tahu,walaupun bunda selalu bersikap lembut selama ini, tetapi bila
ada hal yang menurut bunda tidak berkenan, pasti bunda akan mengambil sikap
tegas, bahkan ayahpun kadang tidak bisa menentangnya.
Akhirnya
seluruh proses masuk Kowad kujalani sendiri tanpa dukungan dari bunda. Ketika
aku akhirnya diterima, tidak ada peluk cium, ucapan selamat atau bahkan senyum
bangga hadir di sudut bibir bunda. Tidak ada semua itu. Dan aku hanya bisa
merasakan sebelah hatiku terkulai. Sewaktu aku harus berjauhan dengan bunda
untuk pertama kalinya saat pendidikan, aku tidak diantar dengan iringan doa dan
lambaian tangan. Hanya ayah dan mbak Hanum, tapi itu tidak cukup buat ku.
Bahkan saat hari demi hari dan minggu demi minggu berlalu, saat hatiku didera
oleh rasa rindu oleh suara dan pompaan semangat dari bunda, hal itu tak kunjung
juga aku temukan. Bunda seakan telah membentengi hati untuk tidak mau mendengar
apapun mengenai aku. Kadang disaatmalam telah benar-benar diujung gelap, disaat
teman-teman ku lelap karena lelah seperti sekarang ini,aku kerap terjaga sambil
memandangi foto bunda. Dan tahu kah bunda, selama ini diam-diam aku sering
menulis surat untuk bunda tapi belum berani ku kirimkan, sehingga akhirnya
menumpuk di laci mejaku.
Bunda,
Kali
ini hujan benar-benar berhenti. Malam kembali senyap, tidak ada lagi denting
nyanyian hujan atau gerimis. Yang tersisa hanya aroma bau tanah yang khas serta
desiran angin malam yang mnegayun daun jambu air di samping mess. Akh , kalau
tidak karena kerinduanku begitu membuncah di hati, mungkin aku tidak akan
memberanikan diri menulis surat ini untuk bunda. Dan jika tidak karena tiga
hari lagi bunda berulang tahun,mungkin aku tidak pernah memberanikan diri untuk mengirim surat ini sampai ketangan
bunda. Maafkan aku bunda atas segala keegoisanku,atas segala kesalahanku yang
mungkin telah melukai hati bunda.
Selama
aku dalam pendidikan Kowad di Bandung, tahukah bunda kalau aku sudah banyak
berubah? Percayakah bunda kalau Galuh yang tidak suka bangun pagi, kini telah
biasa bangun jam lima pagi lalu sholat subuh dan dilanjutkan dengan olah raga
pagi? Percayakah Bunda kalau Galuh yang senantiasa diomeli karena kamar yang
rapi dan bersih serta harus berbagi dengan tiga rekan yang lain dalam satu
ruangan. Dan tahukah Bunda kalau Galuh tidak lagi mengenal jam karet kini
selalu disiplin dalam segala hal, bahkan kini Galuh cermat dalam menghitung
pengeluaran?
Galuh
memang sudah banyak berubah bunda tapi percayalah, Galuh berubah menjadi lebih
baik. Bunda tentu akan lebih kaget lagi, kalau tahu bahwa aku sekarang sudah
bisa memasak, bahkan aku bersama teman-teman menyempatkan diri untuk membuat
apotek hidup dihalaman belakang rumah. Kalau aku sudah dimaafkan dan aku sudah
berani untuk pulang nanti, bunda harus
mencicipi lapis Surabaya ayau sup buntut buatanku. Aku jamin akan selezat
masakan bunda.
Bunda,
Jam
sudah menunjukkan pukul 04.00 WIB. Gerimis mulai mendera lagi di ujung genting
mess sehingga suaranya yang merdu membuatku mengantuk. Walaupun begitu
ingatanku pada bunda kuat sehingga aku kembali menguatkan hati untuk menutaskan
suratku. Lebih penting bagiku untuk menyelesaikan surat ini dari pada mengikuti
keinginan untuk bergelung dibwah selimut, tokh besok hari minggu, jadi sesudah
menulis surat ini aku bisa beristirahat penuh.
Tahukah
bunda ketika masa pendidikan berlalu, aku kemudian ditempatkan dipulau Bali?
Tapi sudah hampir satu tahun aku disini, Bunda belum juga membuka hati untukku.
Sudah berapa kali ayah dan mbak Hanum berusaha menjembatani keterasingan kita,
tetapi belum juga membuahkan hasil. Padahal aku begitu berharap kedekatan aku
dan bunda yang dulu terjalin begitu manis akan terangkai lagi. Begitu besarkah
kesalahan yang aku perbuat sehingga membekukan hati bunda dan menutup tirai
rindu bunda buatku?
Maafkan
kalau aku bertanya seperti ini pada bunda karena aku tidak bisa lagi
menyembunyikan dera-dera rasa berdosa yang kian hari semakin beranjam relung
hatiku. Maafkan aku bunda, anakmu tetap ingin kau iringi dengan doa disetiap
langkah hidupku yang ingin kau peluk lembut bila kelelahan hidup begitu menderaku.
Yang ingin kau semangati bila aralmematahakan semangatku dan yang ingin kau
tegur dengan halus bila langkah tak lagi lurus. Semoga dengan seluruh
keberanian yang tertuang disurat ini, aku berharap seribu maaf dan menantiku di
pintu hati bunda. Mengikis habis pertengkaran kita rasanya tak berujung. Aku
berharap itu akan segera terwujud, agar aku bisa bermanja lagi seperti dulu.
Sujud Ananda
Galuh